Ancaman dari Dalam: Kenaikan Anggaran Militer Barat dan Masa Depan NATO
Peringatan dari Moskow
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, memperingatkan bahwa keputusan negara-negara anggota NATO untuk meningkatkan anggaran militer mereka justru bisa menjadi bumerang. Dalam pernyataannya, Lavrov menyebut bahwa lonjakan pengeluaran pertahanan hingga 5% dari PDB—yang disepakati dalam KTT NATO di Den Haag—berpotensi memicu keruntuhan aliansi itu sendiri.
Menurut Lavrov, langkah tersebut bukan hanya tidak efektif dalam menghadapi ancaman, tetapi juga dapat menimbulkan ketegangan internal di antara anggota NATO yang memiliki kemampuan ekonomi berbeda-beda. Ia menambahkan bahwa Moskow justru berencana memangkas anggaran pertahanannya, sebagai bentuk kontras terhadap pendekatan agresif Barat.
Tekanan dari Amerika Serikat
Peningkatan anggaran ini disebut-sebut sebagai hasil dari tekanan Presiden AS Donald Trump, yang mendesak sekutu-sekutu NATO untuk lebih banyak berkontribusi dalam pembiayaan pertahanan kolektif. Negara-negara anggota akhirnya menyetujui target baru tersebut, meskipun beberapa pihak menganggapnya sebagai bentuk dominasi AS dalam kebijakan aliansi.
Langkah ini juga dipandang sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan dari Rusia, terutama dalam konteks konflik yang masih berlangsung di Ukraina. Namun, Lavrov menilai bahwa narasi ancaman Rusia hanya digunakan sebagai dalih untuk memperbesar anggaran militer dan memperkuat pengaruh AS di Eropa.
Risiko Perpecahan Internal
Kebijakan ini menuai kekhawatiran akan munculnya ketimpangan dan ketegangan di dalam NATO sendiri. Negara-negara dengan ekonomi lebih kecil mungkin kesulitan memenuhi target anggaran tersebut, yang bisa memicu ketidakpuasan dan bahkan potensi keluarnya anggota dari aliansi.
Lavrov menyindir bahwa jika tren ini terus berlanjut, bukan Rusia yang akan runtuh, melainkan NATO itu sendiri. Ia menyebut bahwa “perlombaan senjata” yang dipicu oleh kebijakan semacam ini justru akan mempercepat kehancuran blok militer Barat.